Minggu, 28 Oktober 2012

Gandrang Bulo : Teater Tradisional Rakyat


Pendahuluan
Istilah teater sesungguhnya berasal dari budaya Barat, khususnya dari budaya bangsa Yunani di Eropa. Istilah teater yang berasal dari kata theatron (yang diturunkan dari kata theaomai), berarti ‘dengan takjub memandang’, melihat; atau dapat berarti ‘a seeing place’ (Encyclopaedia Britanica), mewakili pengertian:
a.      gedung pertunjukan, panggung: yaitu sejak zaman Thuycidides (471 – 395 sM) dan Plato (428 – 348 sM);
b.      publik, auditorium; pada masa Herodotus (490 – 348 sM);
c.      karangan tonil, seperti yang disebutkan dalam Kitab Perjanjian Lama..
Kata teater dalam kehidupan sehari-hari sering dipetukarkan dengan istilah drama. Sebagaimana diketahui, drama merupakan bidang kajian seni sastra yang setara kedudukannya dengan puisi dan prosa. Kata drama yang diturunkan dari kata dromain (bhs. Yunani) mengandung mengertian:
a.      kejadian, risalah, karangan (zaman Aeschylus + 525 – 456 sM);
b.      segala pertunjukan yang memakai mimik (Dictionary of World Literature).

Pada perkembangan berikutnya, seperti yang kita saksikan dewasa ini, drama merupakan bagian kajian dalam seni sastra, setara dengan puisi dan prosa fiksi. Sementara itu, teater mengacu kepada:
a.      Tempat pertunjukan, gedung bioskop;
b.      Pertunjukan sandiwara (istilah yang digunakan oleh PKG Mangkunegara VII; 1885-1944) yang merupakan bentukan dari kata sandhi yang berarti rahasia, dan warah yang berarti pendidikan sehingga kata sandiwara memiliki makna sebagai bentuk pendidikan yang disamarkan atau dirahasiakan melalui perilaku manusia dalam cerita yang dipanggungkan;
c.      Kelompok orang atau organisasi yang berkecimpung dalam pengolahan dan pementasan drama atau sandiwara (terlihat dari nama-nama yang digunakan oleh kelompok kesenian pementasan drama seperti Teater Populer, Teater Kecil, Teater Mandiri, Teater Koma, Teater Saja, Bengkel Teater, Studiklub Teater Bandung, dan sebagainya);
d.      Kegiatan kesenian mandiri yang setara dengan cabang-cabang kesenian lainnya.(1)

Membicarakan teater tradisi di Indonesia tampaknya agak rumit mengingat sejarah perkembangan budaya Nusantara kita yang demikian panjang dan beragam. Jika kita mengacu kepada konsep teater tradisi yang berakar pada sistem religi tertentu, kita akan menemukan setidaknya tiga jenis teater tradisi. Ketiga jenis teater tradisi tersebut adalah teater tradisi yang mengacu kepada sistem religi asli (masyarakat Animisme dan Dinamisme) yang sering dinamakan sebagai bentuk teater primitif, teater yang mengacu kepada sistem religi Hindu-Budha, dan teater tradisi yang mengacu kepada sistem religi Islam.
Fungsi pokok teater tradisional di Nusantara pada masyarakat religi asli menurut Jakob Sumardjo adalah:
a.     Pemanggil kekuatan gaib;
b.     Menjemput roh-roh pelindung untuk hadir di tempat terselenggaranya pertunjukan
c.     Memanggil roh-roh baik untuk mengusir roh-roh jahat;
d.     Peringatan kepada nenek moyang dengan mempertontonkan kegagahan maupun kepahlawanannya
e.     Perlengkap upacara sehubungan dengan peringatan tingkat-tingkat hidup seseorang;
f.      Pelengkap upacara untuk saat-saat tertentu dalam siklus waktu.(2)

Teater yang berkembang dikalangan rakyat disebut teater tradisional, sebagai lawan dari teater modern dan kontemporer. Teater tradisional tanpa naskah (bersifat inprovisasi). Sifatnya supel, artinya dipentaskan disembarang tempat. Jenis ini masih hidup dan berkembang didaerah-daerah seluruh Indonesia.Teater tradisional oleh Kasim Ahmad diklarifikasikan menjadi 3 macam, yaitu:

1.Teater rakyat: sifat teater rakyat sama halnya seperti tradisional, yaitu improvisasi, sederhana, spontan dan menyatu dengan kehidupan rakyat. Contohnya antara lain: Makyong dan Mendu didaerah Riau dan Kalimantan Barat, Randai dan Bakaba di Sumatera Barat, Ketoprak, Srandul, Jemblung di Jawa Tengah dan lain sebagainya.
2.Teater Klasik: sifat teater ini sudah mapan, artinya segala sesuatunya sudah teratur, dengan cerita, pelaku yang terlatih, gedung pertunjukkan yang memadai dan tidak lagi menyatu dengan kehidupan rakyat (penontonnya). Lahirnya jenis teater ini dari pusat kerajaan. Sifat feodalistik tampak dalam jenis teater ini. Contohnya: wayang kulit, wayang orang dan wayang golek. Ceritanya statis, tetapi memiliki daya tarik berkat kretatifitas dalang atau pelaku teater tersebut dalam menghidupkan lakon.
3.Teater Transisi: Teater transisi merupakan teater yang bersumber dari teater tradisional, tetapi gaya penyajiannya sudah dipengaruhi oleh teater barat. Jenis teater seperti komedi istambul, sandiwara dardanela, srimulat dan sebagai contoh, pola ceritanya sama dengan ludruk atau ketoprak, tetapi jenis ceritanya diambil dari dunia modern. Musik, dekor dan properti lain menggunakan tehnik barat.(3)
Teater Tradisional Rakyat
Teater rakyat ini adalah sebuah bentuk ekspresi dari masyarakat dari realita kehidupan yang mereka jalani. Dahulu perkembangan teater rakyat adalah sebuah ekspresi masyarakat akan masalah-masalah lokal yang ada di daerah asalnya. Namun ketika Bangsa Indonesia berjuang meraih kemerdekaan peran dan fungsi dari teater rakyat sudah berubah. Pada waktu itu teater rakyat digunakan oleh para cendekiawan muda Indonesia sebagai alat untuk melawan penjajah. Adanya media radio yang sangat diawasi oleh para penjajah membuat para cendekiawan muda berpikir untuk tetap mengobarkan semangat kemerdekaan, dan teater rakyat menjadi salah satu metode yang bisa digunakan. Pada era Soekarno hingga sekarang teater rakyat masih tetap eksis. Namun sekarang teater rakyat lebih sering digunakan sebagai media mengkomunikasikan aspirasi selain dengan cara demonstrasi. (4)
Dalam teater rakyat itu akting adalah nomor dua yang terpenting adalah masalah atau aspirasi yang mau dikomunikasikan, teater rakyat mempunyai karakteristik yang berbeda dengan teater-teater yang lain. Jika teater-teater yang lain menggunakan naskah dari orang atau menyadur buku, namun teater rakyat mengambil naskah dari sebuah realita yang telah dilihat oleh para pemainnya kemudian sang pemain sendiri yang akan membuat naskah berdasarkan sebuah realita ataupun keprihatinan yang mereka lihat .

Gandrang Bulo-Teater Tradisional Rakyat
Masyarakat di Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan punya satu kesenian menarik yang disebut gandrang bulo. Kesenian gandrang bulo sudah berkembang sejak zaman penjajahan Jepang. Aslinya gandrang bulo merupakan pertunjukan seni tari yang diiringi permainan musik gendang dan biola dari bambu. Namun di zaman penjajahan Jepang, kesenian rakyat ini dikembangkan dengan menambahkan dialog-dialog spontan dan gerak tubuh para penari yang kocak. Sejak itu, kesenian gandrang bulo lebih dikenal dengan kesenian yang menyampaikan aspirasi dan kritik rakyat dengan cara yang ringan dan lucu.
Pemain membawakan karakter lucu seperti orang idiot atau orang kampung yang lugu berhadapan dengan pemeran pejabat atau orang berkuasa yang angkuh. Orang idiot dan orang kampung itu selalu berhasil mencibir si pejabat. Begitu lucu gerak-gerik para pemain sehingga orang yang dikritik pun ikut tergelak tertawa.
Menurut para seniman, perkembangan gandrang bulo terdiri dari dua fase. Fase pertama adalah gandrang bulo klasik yang terdiri dari tari dan musik saja. Fase pertama berkembang pada masa kerajaan. Fase kedua terbentuk pada tahun 1942 saat penjajahan Jepang. Pada fase kedua inilah unsur kritik dimasukkan.
Pertunjukan gandrang bulo umumnya dilakukan diatas sebuah panggung dan diiringi musik dari gendang. Para pemainnya menggunakan kostum sehari-hari sesuai dengan cerita yang dipertunjukan. Disela-sela pertunjukan sering disisipkan tari-tarian tradisional dari Makassar seperti Tari Se'ru dan Tari Pepe. Dialog-dialog lucu yang dilontarkan oleh para senimannya merupakan kritik dan luapan emosi atas masalah yang dihadapi sehari-hari.
Pada waktu penjajahan Jepang misalnya, para seniman gandrang bulo menirukan gerak-gerik tentara Jepang dengan kocak diatas panggung. Mereka juga melantunkan lagu-lagu dan dialog-dialog lucu yang berisi penderitaan hidup dibawah penjajah.
Sedangkan gandrang bulo sekarang banyak mengangkat isu-isu seputar politik, sosial, dan budaya. Karena tema-tema yang diangkat begitu dekat dengan kehidupan masyarakat dan disajikan dengan ringan dan lucu, kesenian gandrang bula sangat diminati oleh semua kalangan masyarakat di Makassar.
Salah satu lakon yang pernah dibawakan dalam pertunjukan gandrang bulo yaitu lakon dotto dottoro, sebuah lakon tentang dokter. Seseorang yang berpakaian dokter nampak bercakap-cakap dengan pasiennya, yang sayangnya sang pasien tak memahami bahasa si dokter. Lalu datanglah si mantri menjadi penerjemah. Celakanya si mantri kampung itu justru memanfaatkan kebodohan sang pasien. Ketika sang dokter, dengan bahasa asing pula, meminta bayaran, sang mantri menyampaikan kepada sang pasien dengan harga dua kali lipat. Sang pasienpun manggut-manggut lalu menyodorkan beberapa lembar uang sambil menggerutu: “alle dokttoro pallabusu doi!”, ambillah dokter pengeruk uang, katanya. Tak hanya berhenti di situ. Si dokter lantas mengeluarkan perlengkapan medisnya, sebuah alat suntik dan alat bedah. Namun, yang tak lazim, ternyata alat bedahnya sebuah gergaji dan tang runcing serta alat suntiknya dari semprot serangga. Si pasien pun melihat kaget, terbelalak, dan pingsan!. Masyarakat pinggiran yang ternyata memiliki cara sendiri dalam merespon berbagai tekanan sosial dan struktural yang menimpanya. Lewat Gandrang Bulo, mereka secara satiris menertawakan kehidupan dan menggugat persoalan dalam rupa humor yang menghibur.(5)
Dari catatan Yayasan Desantara dan dipublikasikan di Harian Fajar Makassar, 30 Juni 2007. Tercatat, tari Gandrang Bulo sempat menjadi bentuk eksperesi perlawanan seniman dan rakyat terhadap kolonialisme. Hal ini tercermin dalam syair ;
Tahun 1942 Na Mandara I Tuan Nippon caddi mata
Na Passadia Bokong Latama ri Camba
Kasirati memang tongi I Balanda Bunrang mata
Nippon mandara Na gudang na tunu pepe
(Tahun 1942 mendarat Tuan Nippon si mata sipit
menyiapkan bekal masuk ke daerah Camba
Memang kurang ajar Si Belanda bermata kabur
Nippon yang mendarat kok gudang-gudang yang dibakar)
Petikan syair diatas adalah bagian dari lakon Gandrang Bulo 1942. Sebuah genre Gandrang Bulu yang muncul pada masa Romusha, perbudakan ala tentara pendudukan Jepang. Konon, Gandrang Bulo model ini berawal dari iseng dan usilnya para pekerja paksa di masa Romusha. Saat istirahat, mereka secara spontan melakukan gerakan kocak yang meniru bahkan mencemooh gerak gerik, gesture serta prilaku tentara Jepang. Gerakan-gerakan kocak tersebut lalu ditimpali dengan bunyi-bunyian dari para pekerja lainnya yang memukul-mukul alat kerja mereka. Seperti pikulan, gagang cangkul, keranjang atau usungan yang terbuat dari bambu dan kayu. Riang dan kocaknya eksperesi para pekerja paksa tersebut mendapat sambutan meriah. Meski harus kucing-kucingan dengan tentara Jepang, tarian ini sukses mengundang banyak peminat untuk bergabung dan menikmatinya, bahkan ia kemudian dikenal dengan nama Gandrang Bulo 1942. (6)
Pada awalnya Gandrang Bulo sebenarnya sekadar tarian yang diiringi oleh gendang. Seiring waktu tarian ini diiringi pula lagu-lagu jenaka, dialog-dialog humor namun sarat kritik dan ditambah gerak tubuh yang mengundang tawa. Kadangpula diselipkan Tari Se’ru atau Tari Pepe pepeka ri makka yang acap kali tampil sendiri di berbagai panggung pertunjukan, namun begitu oleh masyarakat sekitar tetap saja ia dikenal sebagai bagian pertunjukan Gandrang Bulo.
Menurut Dg Naba, salah seorang seniman Gandrang Bulo di Makassar saat ini, perubahan Gandrang Bulo bukanlah hal yang aneh. Lantaran perubahan itu, tuturnya, untuk merespon dan menyesuaikan diri dengan kondisi yang ada. Sekitar 1942, misalnya, ketika perang melawan penjajah berkobar, kaum seniman pun tak mau kalah. Mereka membangun basis-basis perlawanan dari atas panggung. Gandrang Bulo pun disulap bukan sekadar tari-tarian, melainkan tempat pembangkit semangat perjuangan dengan mengejek dan menertawakan penjajah dan antek-anteknya. Gandrang Bulo, ketika itu, lantas menjadi kesenian rakyat yang amat populer.
Baru sekitar akhir 1960-an, Gandrang Bulo mengalami kreasi ulang. Menurut Kalimuddin Dg Tombong yang juga seorang seniman asal Gowa, kreasi baru itu dikomandani oleh Dg Nyangka, seniman asal Bontonompo, Gowa. Mulai saat itu Gandrang Bulo dikenal dalam pentas-pentas tarian dalam acara-acara seremonial. Gandrang Bulo macam inilah yang belakangan ini kerap tampil di acara-acara resmi pemerintah maupun partai-partai politik.
Namun begitu, meski diterpa berbagai perubahan, Gandrang Bulo Ilolo Gading maupun Gandarng Bulo 1942 ini tak pernah kehilangan tempat. Grup-grupnya tersebar di berbagai tempat seperti Gowa, Makassar, Maros, dan Takalar. Gandrang Bulo, menurut Kalimuddin Dg Tombong, menjadi tempat bebas seniman kampung mengekspresikan problem mereka sehari-hari. (7)
Berbeda dengan tarian etnis Bugis – Makassar lain yang berirama lembut, lamban dan penuh pengkhyatan disetiap tarinya. Tari gandrang bulo justru mengedepankan gerakan tangan dan kaki dengan tempo cepat, rancak dan energik seolah tak ada tata gerak baku. Sesungguhnya tarian itu melambangkan karakter orang Bugis – Makassar, dalam perspektif gender masing-masing, Karakter Bugis – Makkassar yang keras dan tegas memang hanya ditemui pada kaum pria, sementara pada kaum perempuan justru sebaliknya. Mereka cenderung tampil anggun, gemulai dan keibuan. Makanya tidak jarang, pria dari suku lain berusaha mencari pendamping hidup dari perempuan Bugis – Makassar.
Maka wajar pula, jika tari Gandrang Bulo, Marraga/Maddaga, Massempe, Jujju Sulo yang dimainkan kaum pria lebih menonjolkan gerakan cepat dan bertempo tinggi. Berbeda dengan tari Pakarena, Lolusu, Padduppa, dan Bosara. Sebagaian contoh tari etnik Bugis - Makassar yang menampilkan kelembutan dan gemulai para penarinya. Gandrang Bulo, awalnya hanyalah tarian sederhana serupa tarian rakyat tanpa tata gerak baku ala istana kerajaan. (8)

Pesan Moral dalam Pertunjukan Teater Tradisional
Seni terlahir dari apa yang hidup dan tumbuh di sekitar dan sekeliling kehidupan senimannya: bumi yang dipijaknya, masyarakat di sekitarnya, bangsa dan negaranya, kehidupan sosial politis yang melingkunginya, sejarahnya, semangat, serta cita-cita zamannya. Setiap hal yang disuarakan dalam suatu karya seni adalah apa yang tumbuh bergejolak dalam lingkungan masyarakatnya melalui pemikiran dan kerja senimannya. Jadi, seniman adalah corong dari masyarakat dan zamannya.
Memang benar bahwa seniman harus memiliki kebebasan sebagai manusia. Tetapi kebebasan yang 100 % bebas hanyalah khayalan dan tidak realistis. Kebebasan yang murni dalam seni akan melahirkan ’seni untuk seni’; seniman hanya akan asyik dengan dirinya sendiri dan terlepas dari masyarakat yang menjadi almamaternya. Kebebasan dalam seni sesungguhnya menuntut adanya sebentuk tanggung jawab. Tanggung jawab terhadap dirinya sendiri maupun terhadap masyarakat dan zamannya, karena manusia pada dasarnya memiliki kecenderungan kepada kebenaran dan kebaikan.
Nilai-nilai kemanusiaan yang diperjuangkan oleh seniman adalah demi kemanusiaan itu sendiri, demi keluhuran kemanusiaan, dan tidak akan pernah ada seniman yang menghendaki kemerosotan martabat kemanusiaan. Oleh karena itu, seni sering berkaitan erat dengan masalah moralitas. Seni yang sejati hanya bisa tumbuh atas kewajaran dan kejujuran; jujur menurut kenyataan jiwanya, dan wajar menurut kenyataan situasi dirinya serta lingkungannya.
Sebagai karya seni, teater pun memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan serta pemasalahan manusia. Aspek-aspek kejiwaan, masalah sosial, keagamaan, metafisika, politik, dan hak-hak azasi manusia merupakan daerah pembicaraan drama. Dan aspek-aspek inilah yang sesungguhnya menjadi visi dan esensi drama. Dalam menangkap visi (pesan atau amanat) yang terdapat dalam drama ini, pembaca atau penonton drama dituntut memiliki wawasan yang memadai di bidang-bidang ilmu lain yang berkaitan dengan tujuan senimannya. (9)
Permasalahan dalam pertunjukan teater adalah beragam permasalahan  yang diangkat dari kehidupan nyata. Banyak masalah serta tema yang dikemukakan oleh sutradara serta penulis lakon yang berasal dari kehidupan nyata yang kemudian diwujudkan menjadi sebuah teater, entah itu persoalan masalah sosial, masalah kemanusiaan, masalah perjuangan, masalah politik, masalah pendidikan, dan masalah-masalah kehidupa lainnya.
Masalah-masalah kehidupan, seperti masalah sosial politik inilah yang menjadi latar belakang terciptanya kesenian Gandrang Bulo yang seperti saat ini, yang awalnya tari Gandrang Bulo hanyalah tarian biasa yang diselingi alunan musik dan lagu-lagu tradisional menjadi sebuah pertunjukan teater tari yang berisi kritikan terhadap masalah-masalah yang biasa dihadapi dalam kehidupan sehari-hari dan dikemas secara jenaka, sehingga para pelakon dapat melontarkan kritikannya secara jujur dan spontan namun tanpa mengundang ketidaksetujuan para pihak yang dikritik, malah kritik tersebut memancing gelak tawa para penontonnya.
Namun, yang harus disadari adalah permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan ini dan kemudian dijadikan dasar dalam pementasan teater sesunggunya adalah inti dari pertunjukan sebuah teater.


Daftar Pustaka
(1) Harrydfauzi.wordpress.com.
(2) Harrydfauzi.wordpress.com.
(3) putusnyambung.wordpress.com
(4) Senibudaya.timlo.net/teater/
(5) Nurulhuda.wordpress.com /Gandrang Bulo, Kritik Kocak Seniman Rakyat « Rumah Indonesia.htm
(6) Adinwajo.blogspot.com /gandrang-bulo-rasa-es-tiga.html
(7) Nurulhuda.wordpress.com /Gandrang Bulo, Kritik Kocak Seniman Rakyat « Rumah Indonesia.htm
(8) Adinwajo.blogspot.com /gandrang-bulo-rasa-es-tiga.html
(9) Harrydfauzi.wordpress.com.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Pelita dalam Kegelapan Malam © 2008. Design By: SkinCorner