Hilemorfisme-Universalia : Antara
Bentuk dan Materi
Konsep pemikiran yang berkisar pada
teori tentang bentuk dan materi, sebagaimana yang dicetuskan oleh Aristoteles
kembali menjadi persoalan mendasar dalam abad ke-12 dan 13 di Eropa Barat.
Relasi antara Eropa Barat dengan peradaban Yunani dan Arab kemudian secara
langsung membawa pengaruh pemikiran Aristoteles ke Eropa Barat. Persoalan
polemik utama pada abad ini berkisar pada konsep universalia atau pengertian
tentang yang umum dari realitas yang dilihat dari perspektif akal dan iman. Pengaruh pemikiran teologis Islam di Arab, terutama
dari Spanyol yang menyentuh persoalan tentang Tuhan menjadi arah utama di Eropa
Barat. Sebagaimana pemikiran teologis Islam, pemikiran Eropa Barat juga mencoba
membangun keterangan-keterangan baru tentang teologi kristen melalui pemikiran
Aristoteles maupun Neoplatonisme. Terdapat dua Tokoh utama dalam abad ini yaitu
Alberthus Agung (1206-1280), dan Thomas Aquinas (1225-1274).
A.
Albertus Agung : Nisbah antara
Filsafat dan Teologia
Albertus Agung lahir di Lauingen,
daerah wilayah Jerman. Ia menempuh studi di Koln dan Padus, sebelum menjadi
dosen di Jerman dan di Paris Prancis. Albertus kemudian menjadi pemimpin ordo Dominikan
yang merupakan salah satu ordo yang sangat memperhatikan perkembangan
persoalan-persoalan ilmu pengetahuan, sebelum akhirnya diangkat menjadi uskup.
Albertus mempelajari pemikiran Aristoteles dan Neoplatonisme secara langsung
maupun melalui keterangan-keterangan dari karya-karya pemikir Islam yang
terlebih dahulu tersentuh oleh pemikiran Yunani.
Alberthus melakukan
perbedaan-perbedaan antara filsafat dengan teologia. Menurutnya dasar hakiki
teologia adalah keyakinan iman, sedangkan filsafat adalah pengetahuan yang
bersifat akali. Iman menurut Alberthus berbeda dengan pengetahuan, pada
pengetahuan kebenaran tentang suatu hal dapat diterima karena kejelasan hal
tersebut dapat diterima secara akali, bukti-buktinya dapat dipahami oleh akal.
Tetapi pada Iman tidak ada kejelasan-kejelasan yang dapat diterima secara
akali, sebab kebenaran iman bukanlah karena kejelasan dari kebenaran iman itu,
untuk itu tidak dapat dibuktikan, dan lebih didasarkan pada perasaan.
Teologia dan filsafat mempunyai
sasaran metodologis yang berbeda, bila teologia bersandarkan pada hal-hal yang
bersifat metafisika atau adikodrati yang melampaui dari batas-batas alamiah
yang dapat dipahami oleh manusia, maka sebaliknya filsafat justru mendasarkan
diri pada sasaran alamiah yang bekerja berdasarkan pada akal dan membangun
suatu pengetahuan yang bersifat umum, yaitu dapat diterima oleh semua orang.
Konsep hilemorfisme Alberthus,
terkait dengan asumsinya tentang penciptaan Tuhan, menurutnya hal yang
pertama-tama diciptakan Tuhan adalah materi (hyle) yaitu materi prima yang adanya murni potensial yang menjadi
dasar dari segala bentuk (morphe).
Berdasarkan asumsi materi dan bentuk itulah, Alberthus menanggapi persoalan
universali atau tentang pengertian yang umum. Menurutnya universalia (pengertian
umum) hanya berada sebagai sebuah bentuk-bentuk, untuk itu ia membagi tiga
macam cara bentuk berada secara umum. Pertama, universalia ante rem, yaitu universalia atau pengertian umum yang
berada sebelum berubah wujud menjadi sebuah benda. Universalia ini merupakan
bentuk-bentuk yang terdapat dalam akal Tuhan, berupa ide-ide dasar dari segala
yang kemudian ada dalam realitas kongkrit di dunia. Kedua, universalia in re, yaitu pengertian umum yang berada didalam benda
itu sendiri. Universalia ini merupakan bentu-bentuk yang telah direalisir dalam
kenyataan kongkrit, yang berasal dari ide Tuhan dan adanya telah memiliki
bentuk sebuah benda. Ketiga, universalia
post rem atau pengertian umum yang kemudian lahir dari akal manusia tentang
benda kongkrit yang ada. Universalia ini merupakan hasil konsepsi abstrak
manusia, atas wujud benda yang ada dan berbeda-beda.
B.
Thomas Aquinas : Dari Metafisika
Menuju Rasionalisme-Ontologis
Thomas Aquinas dilahirkan di Rocca
Sicca, ia belajar di Paris sebagai murid Albertus Agung, kemudian juga menjadi
pengajar di Paris dan Koln. Sebagaimana Albertus Agung, pemikiran Thomas
Aquinas sangat terkait dengan teologia. Aquinas mendasari filsafatnya atas
keyakinannya pada pengetahuan manusia
melalui akalnya, dan tetap mempertahankan kebenaran-kebenaran adikodrati dari
wahyu yang berdasarkan iman.
Thomas Aquinas sampai pada kesimpulan
tentang adanya dua pengetahuan yang otonom, yaitu pengetahuan alamiah yang
berpangkal pada akal manusia dan bersifat alamiah semata dengan sasaran yang
bersifat umum, dan pengetahuan iman yang berpangkal pada wahyu dan bersifat
mengatasi dan melampaui hal-hal yang alamiah dengan sasaran pada kebenaran
Tuhan. Aquinas selanjutnya mengembangkan konsepsi metafisika yang berlandaskan
pemikiran Aristoteles, dengan memformulasikan konsep-konsep pemikiran
Aristoteles tentang materi dan bentuk, potensi dan aktus, serta bakat dan
kongkritisasi. Hasil formulasi pemikiran Aquinas menghasilkan sebuah pengertian
dasar yang sangat penting, yaitu bahwa materi adalah sebuah substansi (tetapi
bukan substansi sempurna) yang masih berada dalam posisi sebagai potensia (potensi), pada titik ini
materi mempunyai bakat untuk menjadi aktus
(aktual). Bentuk pada sisi lain telah ada dalam diri materi, dan merupakan cara
materi untuk dapat terkongkritkan. Semua makhluk mengalami proses potensi
menjadi aktual, sehingga eksistensi makhluk adalah sesuatu yang ditambahkan
dari esensinya (hakikatnya). Tetapi tuhan adalah actus purus menurut Thomas Aquinas, atau kongkrit secara murni, maka
esensi (hakikat) keberadaan Tuhan melekat secara langsung dengan eksistensinya,
untuk itu Tuhan tidak pernah berawal dari potensi.
Berlandaskan pemahaman tentang
potensi-aktual dan esensi-eksistensi tersebut, Thomas Aquinas kemudian
membangun sebuah kerangka rasionalisme ontologis atau theologika naturalis yang berupaya membangun sistem pengetahuan
akal yang dapat menjangkau eksistensi Tuhan. Thomas Aquinas melakukan upaya
pembuktian secara ontologis tentang adannya Tuhan dengan mengajukan lima dasar
bukti. Pertama, bukti fenomena
gerak. Sesuatu yang bergerak pasti digerakan oleh sesuatu yang lain, maka pasti
ada penggerak pertama. Kedua, bukti
fenomena kausalitas . realitas terbangun dari suatu tata tertib sebab akibat, maka
harus ada sebab pertama yang mengakibatkan realitas. Ketiga, bukti ontologis, bahwa sesuatu yang tidak ada (sebelumnya)
hanya dapat menjadi ada karena adanya sesuatu yang lain yang telah lebih dahulu
ada, apalagi yang sudah ada pasti diadakan oleh sesuatu yang terlebih dahulu
sudah ada. Keempat, bukti
relativitas, bahwa realitas ini selalu mengacu pada sesuatu sebagai ukuran,
maka pasti ada acuan terakhir yang menjadi ukuran terakhir yang tertinggi
darikebaikan, kemuliaan, dan kebenaran. Kelima,
bukti teleologis (tujuan), bahwa segala sesuatu menuju pada tujuan-tujuannya
dan itu semua tidak berlangsung secara kebetulan, melainkan pasti ada yang
mengarahkan.
Kelima bukti tersebut mengarah pada
satu aktor utama yaitu Tuhan. Tetapi bukti tersebut menurut Aquinas hanya
membantu kita untuk sampai pada pengetahuan bahwa esensi atau hakikat tuhan itu
ada, tetapi eksistensi atau kongkritnya tidak dapat diketahui. Berdasarkan pembuktian
ontologis Tuhan tersebut, lebih jauh Aquinas mengembangkan rasionalisme
ontologis yang berlandaskan pada konsep
Aristoteles dan Neoplatonisme untuk menghubungkan kemampuan akali mengenal
Tuhan. Menurut Aquinas, ada tiga cara manusia melalui akalnya dapat mengenal
Tuhan. Pertama, via positiva, bahwa
secara rasional keadaan manusia adalah bagian dari keadaan Tuhan, maka segala
sesuatu yang secara positif baik dapat ddigunakan untuk mengetahui keadaan
Tuhan. Kedua, via negativa, bahwa
segala sesuatu yang ada pada manusia pasti tidak berada secara sama dengan
keadaan Tuhan. Ketiga, via iminentiae,
bahwa keadaan yang baik pada Tuhan pasti jauh melampaui keadaan baik yang ada
pada manusia.
Lebih jauh Aquinas menjelaskan bahwa
Tuhan menciptakan realitas dari “yang tidak ada” (ex nihilo), kemudian penciptaan dilakukan Tuhan secara terus
menerus sekaligus memelihara segala sesuatu yang bersifat sementara itu. Segala
sesuatu diciptakan Tuhan dari ideNya, untuk itu segala sesuatu itu hanya
merupakan bagian dari eksistensi atau adanya Tuhan. Segala ciptaan
Tuhan”berpartisipasi” atas eksistensi Tuhan secara analogia (kiasan) bahwa antaratuhan dengan makhluk dan segala
ciptaannya mempunyai jarak eksistensi yang jauh berbeda, tetapi sekaligus juga
menampakkan bayangan eksistensi adanya Tuhan sebagai penciptanya.
Garis besar pemikiran Thomas Aquinas,
selain sebagai lanjutan atau penajaman dari pemikiran dari pemikiran Albertus
Agung, juga merupakan sebuah arah baru bagi pola pemikiran manusia yang
bersifat sintesis. Secara jelas tampak bahwa Aquinas mencoba melakukan sintesis
atau bentuk pikir jalan tengah dari nisbah atau pertentangan antara pengetahuan
akal dan kebenaran iman yang dikemukakan oleh Albertus Agung. Hal penting dari
pemikiran Aquinas juga tampak dari pemikirannya yang rasionalistis dalam
mendekati berbagai fenomena metafisika. Pendekatan akal dalam memahami Tuhan
merupakan bentuk sintesa pemikiran baru dalam persoalan pertentangan anatara
akal dan iman yang menjadi tonggak perdebatan pemikiran pada kurang lebih tiga
abad sebelumnya.
C.
Nominalisme : Realitas Bersifat
Khusus Kongkrit
Pada akhir abad ke-13 kecendrungan
peta pemikiran manusia mulai menampakkan perubahan arah. Pertentangan antar
ordo pada satu sisi merupakan pemicu dari pertentangan pemikiran. Tetapi pada
sisi lain polemik pemikiran masih berkisar pada hal-hal yang bersifat
konstruksi metafisik, atau mencoba membangun sebuah dasar-dasar metafisika yang
sekaligus bersifat sangat filosofis. Kemunculan seorang tokoh pemikir dari
Scotlandia yaitu Yohanes Duns Scotus (1266-1308) pada akhir abad ke-13,
merupakan kelanjutan dari pertentangan pemikiran manusia.
Efek penting dari pertentangan
pemikiran antara Thomas Aquinas dan Yohanes Duns Scotus, adalah munculnya
sebuah fenomena kecenderungan baru pemikiran manusia, yaitu fokus pemikiran manusia tidak lagi bersifat
metafisis sebagaimana aliran pikir Thomisme
dan Scotisme sebelumnya yang
telah dianggap sebagai jalan pemikiran kuno (via Antiqua), maka meskipun pemikiran masih mengarah pada aspek
teologia, namun fokusnya tidak lagi pada aspek filosofis sebagai kerangka utama
melainkan lebih bersifat positif ilmiah (via
moderna). Tradisi pemikiran ini kemudian dikenal dengan istilah nominalisme,
dengan tokoh utama adalah William Ockham (1285-1349).
William Ockham melanjutkan studinya
di Oxford kemudian menjadi staf pengajar disana. Pandangan pemikiran Ockham
bertumpu pada persoalan realitas yang pada pemikiran sebelumnya dianggap
bersifat umum (universal). Menurutnya sesuatu yang nyata adalah hal-hal yang
bersifat individual, segala hal yang bersifat tunggal yang dapat dipahami
eksistensinya. Universalia atau pengertian umum sesungguhnya tidak ada dalam
kenyataan yang dapat dialami, universalia hanya ada dalam akal. Maka menurut
Ockham sesuatu hal tidak dapat di pilah-pilah kedalam hakikatnya (essentia) atau keberadaannya (existensia), sebab segala sesuatu yang
nyata pasti mempunyai aspek hakikat dan sekaligus keberadaannya.
Sehingga pengetahuan hanya mungkin dicapai
berdasarkan eksistensi yang bersifat tunggal, dan menurut Ockham pengenalan
terpenting dalam memahami realitas adalah secara empirik yaitu melalui proses
mengalami sesuatu hal secara aktual, disamping pengenalan intuitif yaitu
pengenalan yang berlandaskan akal dan indera yang mencapai pemahaman tentang
sesuatu hal secara konseptual. Secara intuitif, sesuatu hal yang tunggal dapat
dirangkum dalam satu sebutan nama (terminus).
Kesimpulan pemikiran Ockham yang
nominalistik kemudian membawa segala aspek pemahaman yang metafisik atau segala
sesuatu yang diluar dari yang dapat dialami secara empirik dalam kenyataan
secara tunggal, hanya bersifat subjektif atau hanya dapat dipahami sebatas
konseptual saja.
Bentuk pemikiran nominalistik berkembang sampai pada
akhir abad ke-14 terutama di Prancis. Sumbangsih terpenting dari kemunculan
pemikiran nominalis adalah fokus pengetahuan dan pengenalan manusia diarahkan
pada hal-hal yang bersifat khusus dan kongkrit. Relasi pemikiran nominalisme
selain berakar dari pemikiran universalia, juga terkait dengan tradisi
pemikiran realisme yang dicetuskan oleh Aristoteles.
0 komentar:
Posting Komentar