Minggu, 16 September 2012

Tata Suara dan Ilustrasi Musik


Sebagai suatu seni pertunjukan, drama memiliki suasana yang berbeda dengan seni pertunjukan lainnya. Drama disamping sebagai seni pertunjukan visual (dilihat), juga merupakan seni pertunjukan auditif (didengar). Dengan begitu, pementasan drama merupakan perpaduan antara seni pertunjukan pandang dan dengar. Oleh sebab itu, hal-hal yang mesti dipersiapkan bukan hanya segala sesuatu yang dapat dilihat, atau sesuatu yang harus diperhatikan; tetapi juga tentang sesuatu yang dapat didengar atau sesuatu yang harus diperdengarkan.
a.    Tata Suara
Hal-hal yang menyangkut tentang apa-apa yang harus didengar atau diperdengarkan di dalam pementasan drama, biasanya disebut dengan istilah tatasuara, atau biasa juga disebut tatabunyi. Melalui tata suara inilah hal-hal yang bersifat auditif, yang diperlukan untuk suatu pementasan drama, direncanakan, diatur, dan dimanfaatkan sedemikian rupa sehingga berjalan sebagaimana yang diinginkan.
Herymawan (198:10) mengungkapkan bahwa sering terjadi kesimpang siuran pemakaian istilah untuk tata suara, terutama istilah dari bahasa asing. Ia menyebutkan beberapa istilah yang biasa digunakan di dalam praktik pemanfaatan suara di dalam pementasan drama, yaitu (a) sound (bunyi), (b) voice (suara), (c) (desah), (d) tone (nada), dan (e) hume (dengung). Untuk pementasan drama, aspek yang mendominasi adalah aspek suara. Dialog-dialog di dalam pementasan disampaikan lewat suara para tokoh. Melalui suara inilah penonton menagkap alur cerita yang dipentaskan. Melalui suara pula suara hati manusia disampaikan, misalnya suasana hati yang marah, riang, sedih, ngambek, dan lain-lain. Di dalam penggunaan suara, terdapat pula beberapa istilah yang juga biasa dipergunakan di dalam pementasan drama, yaitu (a) texture, merupakan kualitas suara yang dapat dirasakan senang, kasar, lancar, dan sebagainya, (b) intonation, merupakan tinggi rendahnya suara pada saat berbicara, (c) stres, adalah tekanan suara pada hal-hal yang dianggap penting pada saat berbicara, (d) mood, merupakan suara yang menyangkut tentang perasaan dan suara hati, (e) pacing, adalah suara yang pengucapannya dapat dilakukan dengan lebih cepat atau lebih lambat dari kata-kata yang lain, dan (f) accent, adalah tekanan pada suatu bagian kata atau suku kata.
Berdasarkan kepentingan yang ingin dicapai, maka suara –terutama dari para pemain- harus ditata sedemikian rupa sehingga mendukung pementasan yang dilakukan. Suara yang tidak dilatih tidaklah menarik untuk dipakai sebagai sebagai suara pengantar dialog di dalam pemetasan drama. Suara yang tidak dihasilkan dengan cara yang benar (bagi pementasan drama) hanya akan menjadikan cacat latar bagi pementasan drama. Oleh sebab itu, hanya suara yang dilatih dengan baik saja yang selanjutnya digunakan di dalam pementasan drama.
Suara yang mengiringi suatu adegan atau sebelum/sesudah adegan, ataupun menandai pergantian adegan, bahkan mungkin juga mengakhiri adegan atau mengakhiri pertunjukan adalah sesuatu yang harus disiapkan secara matang dan menyuarakannya harus tepat waktu (tidak terlambat atau terlalu cepat).
Peranan suara ini benar-benar menentukan jika menjadi pelengkap adegan yang ikut diucapkan dalam dialog para pelakunya. Suara-suara yang memberi efek itu, misalnya : suara tangis, suara anjing melolong, suara marga satwa, suara air terjun, dan sebagainya. Suara-suara itu akan meyakinkan penonton terhadap adegan yang sedang ditonton.

b.   Ilustrasi Musik
Pementasan drama –dari segi auditif- tidak hanya bergantung pada persoalan suara para pemain saja. Untuk kepentingan menciptakan suasana tertentu, sehingga imanjinasi penonton dapat berkembang secara maksimal diperlukan musik pengiring. Pemain juga dapat terbantu dengan adanya musik pengiring ini.
Musik pengiring, di dalam kegunaan pementasan drama dapat disebut dengan istilah ilustrasi musik. Peranan musik dalam pertunjukan drama sangatlah penting. Musik dapat menjadi bagian lakon, tetapi yang terbanyak adalah sebagai ilustrasi, baik sebagai pembuka seluruh lakon, pembuka adegan, memberi efek pada lakon, maupun sebagai penutup lakon. Tata suara berfungsi memberikan efek suara yang diperlukan lakon, seperti suara ketepak kaki kuda, tangis, bunyi tembakan, bunyi kereta api, mobil, burung berkicau dan sebagainya. Untuk memberikan efek tertentu, musik sering digabung dengan suara (sound effect). Misalnya dalam memberi efek terkejut, panik, tegang, sedih, gembira meluap-luap, perkelahian, musik berbaur dengan sound effect sangat menghidupkan adegan. Musik disamping harus sering digunakan bersama sound effect, juga dengan komponen pentas yang lain.
Fungsi yang diharapkan dari tata musik dirumuskan sebagai berikut :
1.      Memberikan ilustrasi yang memperindah. Karya drama merupakan karya seni. Maka perlu ada penghiasnya. Hiasan pada awal dapat memikat penonton, dan membawa ke arah perhatian pada pentas. Hiasan pada akhir lakon sekaligus mempersilahkan penonton pulang.
2.      Memberikan latar belakang. Latar belakang ini dapat berarti latar belakang kebudayaan, latar belakang sosial, atau keagamaan. Dapat juga latar belakang karakter.
3.      Memberikan warna psikologis. Untuk menggambarkan warna psikologis eran, musik sangatlah besar manfaatnya. Peran yang sedih, kacau, terkejut gembira, semua dapat diberikan tekanan dengan musik yang sesuai.
4.      Memberi tekanan kepada nada dasar drama. Nada dasar drama harus dipahami oleh penonton. Dengan musik yang sesuai yang dapat mengungkap jiwa dari drama itu, penonton akan terhanyut ikut terlibat dalam suasana batin yang pokok dari drama tersebut.
5.      Membantu dalam penanjakan lakon, penonjolan, dan progresi. Disamping itu juga membantu pemberian isi serta meningkatkan irama permainan.
6.      Memberi tekanan pada keadaan yang mendesak.
7.      Memberikan selingan.

Pemanfaatan ilustrasi musik di dalam suatu pementasan drama dapat dilakukan dengan cara yang beragam. Namun begitu, secara umum dapat dibagi atas dua bagian, yaitu (i) musik langsung, yaitu musik yang dimainkan langsung pada saat pementasan. Mungkin peralatan musik yang dipergunakan adalah alat-alat musik modern (seperti organ, keyboard, dan lain-lain), tetapi bisa juga peralatan musik tradisional (seperti suling bambu, gendang, gamelan, dan lain-lain) atau alat musik apapun, bahkan peralatan apapun yang dapat dijadikan bunyi-bunyian untuk mengiringi pementasan; dan (ii) musik rekaman, yaitu musik yang telah direkam di atas pita kaset.
Pengaturan musik ini perlu dipersiapkan secara seksama. Seperti halnya pengaturan lampu, maka dalam musik inipun dibutuhkan penyusunan plot. Juru musik perlu mempelajari naskah, mencari musik yang cocok , merekam dalam pita kaset secara urut kemudian diberi kode. Untuk kaset yang memiliki nomor putaran, kode itu menggunakan nomor putaran itu. Pada naskah harus telah ada kode-kode tertentu. Sebab itu, juru musik harus selalu membawa naskah dan senantiasa mengikuti jalannya latihan. Seperti halnya penata lampu, juru musik ini sulit diganti secara mendadak. Karena harus menguasai jalannya pentas, kapan harus bereaksi dan kapan diam.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Pelita dalam Kegelapan Malam © 2008. Design By: SkinCorner